Jumat, 11 Oktober 2013

Pembayaran Pajak

KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Membayar sendiri pajak yang terutang:

    1. Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
      Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
      Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
      • Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).
        Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.
        Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
      • Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
        Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan.
        Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
        Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :

        Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
        Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%
        di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- 15%
        di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,- 25%
        di atas Rp 500.000.000,- 30%
      Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.
      Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-
    2. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
      Pihak lain disini adalah:
      • Pemberi penghasilan;
      • Pemberi kerja; atau
      • Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
      • Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
      • Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.
        Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya.
      • Pembayaran Pajak-pajak lainnya:
        • Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
          Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-bank tertentu.
          Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
          a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
          b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
        • Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.
          Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp 250.000,- sampai dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.
          Untuk dokumen yang menyebut jumlah di atas Rp1.000.000,- dan surat-surat perjanjian terutang materai tempel sebesar Rp6.000,-.
  2. Pemotongan / Pemungutan Pajak
    Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
    Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:
    1. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
      Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya.
    2. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
      Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
      • Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
      • Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
      • Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
      • Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;
      • Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
      Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
    3. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
      Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.
      Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
    4. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
      Wajib Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26.
      Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
    5. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
      Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya.
      Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
      Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.
    6. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus.
      Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.
      Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut.
    7. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
      Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp 600.000.000,- setahun atau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
      Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak.
    Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.

PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak. Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak(STP), atau Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak/belum dibayar.

Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:
  1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran Wajib Pajak tidak membayar hutang pajaknya.
  2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang pajaknya.
  3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
  4. Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatifdalam membayar hutang pajaknya.
selanjutnya...

Kamis, 10 Oktober 2013

Kenaikan PTKP 2013

Awal tahun 2013 akan kita jelang sebentar lagi. Pemerintah telah menyiapkan kado bagi setiap warga negara Indonesia. Batas penghasilan tidak kena pajak telah dinaikkan menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Sekarang ini setiap orang dengan status lajang di Indonesia wajib membayar pajak penghasilan apabila memperoleh penghasilan dalam setahun lebih dari Rp 15.840.000. Mulai 1 Januari 2013 batas Penghasilan tidak kena pajak ini atau yang disebut PTKP (Penghasilan Tidak kena Pajak) dinaikkan menjadi Rp 24.300.000. Setelah berkonsultasi dengan wakil rakyat di DPR pemerintah melalui Kemenkeu akhirnya menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Besarnya PTKP diubah menjadi Rp 24.300.000 atau jika dihitung per bulannya adalah Rp 2.025.000. Sehingga setiap orang yang mendapatkan penghasilan tidak lebih dari dua juta setiap bulannya dibebaskan dari pengenaan pajak penghasilan.
Esensinya PTKP diatur dalam Pasal 7 UU Pajak penghasilan, namun pengubahan terhadap PTKP ini diperkenankan melalui aturan dibawahnya (Permenkeu) setelah sebelumnya berdiskusi dengan wakil rakyat. Akhirnya pada Oktober 2012 lalu , pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor: PMK-196/PMK.011/2012 tentang penyesuaian besarnya PTKP. Peraturan ini berlaku definitif mulai 1 Januari 2013.
Bagi mereka yang telah menikah, PTKP tersebut masih bertambah besar lagi. Seorang kepala keluarga yang menanggung istri dan anak akan mendapat tambahan PTKP masing-masing sebesar Rp 2.025.000/tahun. Untuk tanggungan di perbolehkan dengan jumlah maksimal 3 orang. Sehingga seorang karyawan atau pegawai yang telah menikah dan memiliki 3 anak kandung yang sepenuhnya ditanggung biaya hidupnya mendapatkan PTKP sebesar Rp  32.400.000.
Selengkapnya kenaikan PTKP ini dapat dilihat sebagai berikut:
  • TK, Lajang (tidak menikah), Lama: Rp. 15.840.000,- Baru: Rp. 24.300.000,-
  • TK1, Lajang dengan 1 tanggungan, Lama Rp. 17.160.000,- Baru: 26.325.000,-
  • TK2, Lajang dengan 2 tanggungan, Lama Rp. 18.480.000,- Baru: 28.350.000,-
  • TK3, Lajang dengan 3 tanggungan, Lama Rp. 19.800.000,- Baru: 30.375.000,-
  • K, Menikah tanpa tanggungan, Lama Rp. 17.160.000,- Baru: 26.325.000,-
  • K2, Menikah dengan 2 tanggungan, Lama Rp. 19.800.000,- Baru: 30.375.000,-
  • K1, Menikah dengan 1 tanggungan, Lama Rp. 18.480.000,- Baru: 28.350.000,-
  • K3, Menikah dengan 3 tanggungan, Lama Rp. 21.120.000,- Baru: 32.400.000,-
Anggota Keluarga Yang Berhak Ditanggung
Menurut ilmu perpajakan, anggota keluarga yang berhak ditanggung dalam PTKP yaitu anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh kepala keluarga (wajib pajak). Syarat berikutnya yakni anggota keluarga tersebut adalah berasal dari anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus juga termasuk anak angkat.
Sehingga, dengan bahasa yang lebih mudah tanggungan itu diberikan kepada anak kandung, orang tua kandung dan mertua. Khusus untuk anak angkat yang berhak masuk dalam PTKP dibatasi sampai usia belum dewasa (belum 18 tahun) dan belum memiliki penghasilan. Jumlah tanggungan ini juga diberi batasan maksimal 3 orang saja. Dokumen yang digunakan sebagai bukti tanggungan yang masuk dalam PTKP dapat berupa surat pernyataan PTKP, yang dibuat oleh karyawan dan dapat diperbaharui jika ada perubahan jumlah tanggungannya.
Standar Biaya Hidup
PTKP identik dengan standar biaya hidup .Pada hakikatnya PTKP adalah suatu besaran yang dijadikan batas oleh pemerintah untuk memajaki penghasilan seseorang. Setiap orang pribadi  yang telah memperoleh penghasilan melewati PTKP wajib membayar pajak penghasilan ke kas negara. Pertimbangan untuk menentukan besarnya PTKP didasarkan pada perkembangan ekonomi moneter dan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Kenaikan PTKP ini juga diharapkan dapat meringankan beban hidup rakyat.
Di tengah kenaikan  harga-harga kebutuhan pokok sekarang ini, memang sudah selayaknya pemerintah menaikkan PTKP .Dengan menaikkan batas PTKP berarti akan semakin banyak penghasilan yang dibawa pulang untuk belanja dan menabung. Tingkat konsumsi masyarakat diharapkan akan semakin meningkat. Dengan bertambahnya tingkat konsumsi ini pemerintah akan mendapat setoran pajak dari PPN (pajak pertambahan nilai). Sebagaimana diketahui PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang maupun jasa di dalam negeri.
Perlambatan Ekonomi Dunia
Perkembangan ekonomi saat ini memang tengah mengalami perlambatan. Negara-negara barat seperti AS, Spanyol dan Yunani tengah berjuang menghadapi krisis ekonomi global. Penduduk di negara tersebut mulai bersikap hemat dan selektif dalam mengkonsumsi. Akibatnya Eropa dan AS syang menjadi pasar tujuan ekspor mulai mengurangi permintaan barangnya dari Indonesia. Dampak ini mulai dirasakan yaitu, neraca perdagangan yang mulai defisit.
Melambannya ekspor disikapi pemerintah dengan mendorong tingkat konsumsi masyarakat di dalam negeri. Untuk itulah pemerintah merasa perlu menaikkan batas penghasilan yang tidak dipajaki ini. Harapannya, dengan semakin banyak penghasilan yang dibawa pulang akan semakin banyak pula masyarakat yang berbelanja. Penambahan tingkat konsumsi ini pada akhirnya dapat meningkatkan PDB.
Di sisi lain policy yang bisa ditempuh adalah dengan menaikkan upah buruh. Jika PNS rata-rata setiap tahunnya mendapat kenaikan gaji 10%,namun tidak demikian halnya dengan buruh atau karyawan swasta. Mereka harus berjuang demi perbaikan nasib yang bernama kenaikan upah.
Perlu Sosialisasi
Pemberlakuan PTKP ini perlu disosialisaikan kepada pegawai, karyawan dan para perusahaan pemberi kerja. Utamanya adalah pemberi kerja, sebab dalam praktek witholding tax para pemberi kerja inilah yang akan melakukan pemotongan pajak penghasilan dari gaji pegawai dan karyawan mereka. Jangan sampai karyawan dipotong pajak lebih tinggi dari yang seharusnya. Terhadap pemotongan pajak ini, pemberi kerja wajib memberikan bukti potong. Bagi karyawan tetap, bukti potong pajak itu tertuang dalam formulir 1721-A1.
Dipihak karyawan juga dituntut peran aktifnya, yaitu mendaftarkan diri untuk mendapat NPWP dan menyampaikan SPT Pajak penghasilan setiap tahunnya. Pemilikan NPWP ini menjadi penting sebab ada perbedaan tarif pajak antara mereka yang punya NPWP dengan yang tidak memilikinya. Mereka yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif pajak penghasilan yang lebih tinggi 20% dari tarif normal. Sebagai contoh jika karyawan pemilik NPWP dikenakan pajak dengan tarif 5%, maka karyawan yang tidak punya NPWP dikenakan tarif 6%.
Meskipun tidak ada pajak yang dibayar, kewajiban menyampaikan SPT tetap melekat pada setiap warga negara pemilik NPWP. Oleh karena itulah biasanya wajib pajak pada setiap 31 Maret berbondong-bondong menyampaikan SPT ke kantor pajak.
Ketika dulu pahlawan kita berjuang dengan bambu runcing melawan penjajah, maka sekarang bentuk partisipasi pembangunan itu bernama ‘membayar pajak’. Bangga Bayar Pajak!

sumber: http://pajak .go.id/
selanjutnya...